Sifat
Fisik dan Kimia Susu
Sifat
Fisik Susu
Mukhtar
(2006) menjelaskan bahwa susu memiliki sifat fisik yang meliputi warna, bau,
rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalan. Susu segar memiliki
warna putih keabu-abuan hingga agak kuning keemasan. Variasi warna ini dapat
disebabkan oleh faktor keturunan serta pakan yang diberikan kepada hewan. Pada
susu sapi yang menderita mastitis, warna kuning dapat terjadi akibat adanya
sel-sel leukosit. Bau susu akan terasa lebih jelas setelah beberapa jam
terutama pada suhu kamar. Susu segar memiliki rasa manis dan flavor yang khas,
yang terkait dengan tingginya kandungan laktosa dan klorida yang relatif
rendah. Kandungan laktosa yang rendah dan klorida yang tinggi dapat
menghasilkan flavor garam, sehingga pada awal masa laktasi, susu memiliki rasa yang
sedikit asin. Berat jenis susu normal rata-rata adalah sekitar 1,030 atau
berkisar antara 1,028 hingga 1,032. Variasi berat jenis susu terjadi karena
perbedaan kandungan lemak, laktosa, protein, dan garam mineral dalam susu.
Variasi pada titik beku susu dapat terjadi akibat faktor pakan, musim, dan
jenis sapi. Susu akan mendidih pada suhu sekitar 100,17oC dan membeku pada suhu
-0,5oC. Kekentalan susu dipengaruhi oleh variasi komposisi susu, umur sapi,
serta beberapa perlakuan seperti pengadukan, pengasaman, pemeraman, dan
aktivitas bakteri. Kekentalan susu biasanya sekitar 1,5-1,7 kali lebih kental
daripada air pada suhu 20oC.
Saleh
(2004) menyatakan bahwa warna air susu dapat berubah tergantung pada jenis
ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat, dan bahan pembentuk warna.
Warna air susu berkisar antara putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna
putih pada susu merupakan hasil dispersi cahaya oleh globula lemak dan partikel
koloid dari kasein dan kalsium fosfat.
Sifat
Kimia Susu
pH dan tingkat keasaman susu segar dapat terkait dengan berbagai senyawa yang bersifat asam, seperti fosfat kompleks, protein (kasein dan albumin), asam sitrat, dan sedikit CO2 yang terlarut dalam susu. Pemberian pakan kepada sapi tidak mempengaruhi tingkat keasaman susu yang dihasilkan (Mukhtar, 2006).
Muchtadi
dan Sugiyono (1992) menyatakan bahwa protein dalam susu terdiri dari 80%
kasein, 18% laktalbumin, dan 0,05-0,07% laktoglobulin. Kasein merupakan zat
yang berwarna putih kekuningan dan terdapat dalam bentuk partikel kecil yang
bersifat gelatin dalam suspensi. Kasein dapat diendapkan dengan menggunakan
asam encer, renin, atau alkohol. Kasein yang diendapkan dengan alkohol disebut
kaseinat kalsium, sedangkan yang diendapkan dengan renin terbentuk parakasein.
Komposisi
Susu
Susu
mengandung tiga komponen yang khas, yaitu laktosa, protein, dan lemak susu.
Selain itu, susu juga mengandung air, mineral, dan vitamin. Protein, laktosa,
mineral, vitamin, dan beberapa jenis sel lain dalam susu dikenal sebagai Solid
Non Fat (SNF).
Tabel 1.
Komposisi Kimia Susu dan Kisaran Normalnya
No |
Komposisi |
Putih Telur (%) |
Kuning Telur (%) |
1 |
Air |
87,25 |
84,00 – 89,50 |
2 |
Lemak |
3,80 |
2,60 – 6,00 |
3 |
Protein |
3,50 |
2,80 – 4,00 |
4 |
Laktosa |
4,80 |
4,50 – 5,20 |
5 |
Abu |
0,65 |
0,60 – 0,80 |
Sumber: Mukhtar,
2006
Protein
merupakan komponen susu yang terdiri dari tiga macam protein utama, yaitu
kasein, laktalbumin, dan laktoglobulin. Ketiga protein tersebut berbentuk
koloid, tidak membentuk lapisan, dan terdispersi secara seragam dalam susu.
Berbeda dengan lemak, protein hanya memberikan energi sekitar 4,1 kalori per
gramnya (Mukhtar, 2006).
Susu merupakan hasil sekresi fisiologis kelenjar ambing sapi perah yang sehat melalui proses pemerahan yang dilakukan dengan baik dan benar. Tujuan utama peternakan sapi perah adalah untuk menghasilkan susu dengan biaya yang efisien (Sudono, 1999). Susu merupakan emulsi lemak dalam air, dengan globul lemak terdispersi dalam fase sinambungan susu skim. Sapi perah termasuk jenis ruminansia yang memiliki empat bagian perut, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum, dan fungsi utamanya adalah menghasilkan susu (Winarno, 1993).
Protein merupakan komponen utama dalam sel-sel hidup, baik tumbuhan maupun hewan. Protein adalah senyawa organik kompleks yang terdiri dari unsur-unsur karbon (50-55%), hidrogen (± 7%), oksigen (13%), dan nitrogen (± 16%). Kadar protein rata-rata dalam susu sapi adalah sekitar 3,5%. Protein dalam susu dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kasein dan protein whey. Fraksi kasein mengandung gugus fosfor yang dapat diendapkan dengan mengasinkan susu hingga mencapai pH 4,6, sedangkan protein yang masih berada dalam larutan disebut protein whey atau serum protein. Fraksi kasein mewakili sekitar 80% dari total protein yang terdapat dalam susu sapi, sedangkan protein whey sekitar 20%.
Protein
yang dibutuhkan oleh sapi perah dapat diukur dalam bentuk protein kasar atau
protein yang dapat dicerna. Protein kasar merupakan jumlah nitrogen yang
terdapat dalam pakan sapi, sedangkan protein yang dapat dicerna adalah protein
dalam pakan yang dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan sapi. Ada protein
yang dapat dihidrolisis dan ada pula yang tidak dapat dihidrolisis menjadi asam
amino di dalam tubuh sapi perah. Protein yang tidak dapat dihidrolisis disebut asam
amino esensial, sedangkan yang dapat dihidrolisis disebut asam amino
non-esensial (Parakkasi, 1999).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Komposisi Susu
Sapi FH merupakan jenis sapi perah yang memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan dengan jenis sapi perah lainnya. Selain itu, susu sapi FH memiliki kadar lemak yang rendah. Sebagai gambaran, rata-rata produksi susu sapi FH di Amerika Serikat mencapai 7.245 kg per laktasi dengan kadar lemak sebesar 3,65%. Sementara itu, produksi rata-rata sapi perah di Indonesia adalah sekitar 10 liter per ekor (Sudono, 1999).
Sapi FH memiliki keterbatasan dalam toleransi terhadap lingkungan dengan suhu tinggi. Pada suhu lingkungan sekitar 18,3oC - 21,1oC, produksi susu sapi dapat tetap tinggi. Namun, jika suhu lingkungan tinggi, produksi susu sapi akan menurun (Mukhtar, 2006).
Faktor lingkungan, terutama suhu dan kelembaban, memiliki pengaruh besar terhadap tingkat produksi sapi perah, terutama pada masa laktasi (produksi susu). Sapi perah perlu dipelihara dalam kondisi lingkungan yang nyaman agar dapat menghasilkan susu dengan baik (Irawan, 2010).
Ransum
adalah bahan pakan yang diberikan kepada ternak sapi perah selama satu hari.
Ransum harus memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk berbagai
fungsi tubuh, seperti pemeliharaan, produksi, dan reproduksi. Ransum sapi perah
yang ideal, dilihat dari segi biologis dan ekonomi, terdiri dari kombinasi
hijauan dan konsentrat. Ransum yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit
mencapai produksi susu yang tinggi, meskipun biaya ransumnya relatif murah. Di
sisi lain, jika ransum hanya terdiri dari konsentrat, produksinya dapat tinggi,
tetapi biaya ransumnya akan menjadi relatif mahal. Selain itu, ada kemungkinan
terjadinya gangguan pencernaan yang mengarah pada penggemukan sapi perah, yang
sebenarnya bertentangan dengan efisiensi produksi susu (Siregar, 1990).
Hijauan dan konsentrat merupakan komponen utama dalam ransum sapi perah yang berperan sebagai sumber zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk berbagai fungsi tubuh sapi perah. Untuk memastikan pemenuhan zat-zat makanan yang dibutuhkan, hijauan dan konsentrat perlu diformulasikan menjadi ransum yang sesuai.
Hijauan merupakan pakan utama bagi sapi perah, biasanya mengandung serat kasar lebih dari 18% dan bersifat amba. Pada sapi perah yang sedang dalam periode laktasi, hijauan yang diberikan minimal harus mencapai 40% dari total kebutuhan bahan kering ransum atau sekitar 1,5% dari berat hidup sapi perah (Siregar, 1990).
Konsentrat
merupakan pakan tambahan yang diberikan kepada sapi perah untuk memenuhi
kekurangan nutrisi yang tidak dapat dipenuhi oleh hijauan. Konsentrat umumnya
memiliki kandungan protein dan energi yang tinggi, sementara serat kasarnya
rendah. Pemberian konsentrat pada sapi perah biasanya meningkatkan produksi
susu, dan secara umum menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada biaya
pakan. Penyesuaian jumlah pemberian konsentrat berdasarkan produksi susu, masa
laktasi, serta kombinasi dan kualitas hijauan dapat meningkatkan produksi susu
dan efisiensi pendapatan biaya (Sudono, dkk, 2003).
Sifat-sifat
Produksi yang Berkorelasi pada Sapi Perah
Sapi perah memiliki sifat-sifat fisiologis yang mirip dengan sapi potong. Beberapa sifat tersebut meliputi lama kebuntingan, siklus birahi, prinsip-prinsip produksi, fungsi dan bagian saluran cerna, serta kebutuhan dan pemanfaatan zat gizi. Pemeliharaan sapi perah dapat bervariasi, mulai dari skala peternakan kecil hingga besar. Terdapat variasi dalam usaha peternakan sapi perah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sistem pemberian pakan, kondisi kandang, dan lingkungan. Lingkungan merupakan faktor yang sangat luas dan mencakup semua faktor selain faktor genetik yang mempengaruhi produktivitas dan kesehatan ternak (Sudono, 1999 dalam Irawan, 2010).
Menurut Rumetor (2003) dalam Irawan (2010), produksi susu sapi perah akan menurun saat ternak mengalami stres panas. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pemeliharaan untuk menghilangkan kelebihan panas, penurunan laju metabolik, dan penurunan konsumsi pakan.
Hardjosubroto
(1994) menyebutkan bahwa terdapat sifat-sifat yang berkorelasi pada sapi perah.
Penilaian tersebut dilakukan pada sapi betina dan mencakup tinggi badan,
kekuatan sapi, kedalaman dada, keharmonisan bentuk sapi perah, sudut pantat,
panjang pantat, kedudukan kaki belakang, sudut teracak, perlekatan ambing
depan, ketinggian ambing belakang, lebar ambing, celah ambing, kedalaman
ambing, dan letak putting susu.
Hubungan
Seleksi dalam Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah
Produksi susu sapi perah merupakan salah satu karakter kuantitatif yang sangat penting dalam seleksi hewan unggul. Karakter kuantitatif ini memiliki dua sumber keragaman, yaitu genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, produksi susu sapi dapat bervariasi baik antara sapi maupun antara daerah. Faktor iklim juga memiliki peran yang tidak dapat diabaikan. Jika lingkungan fisik dan iklim suatu daerah sesuai dengan habitat sapi perah dan diberikan pakan berkualitas baik, sapi tersebut akan menunjukkan semua sifat yang dimilikinya secara maksimal (Dudi dkk, 2006).
Beberapa
faktor penentu dalam usaha peternakan yang dapat menyebabkan rendahnya produksi
susu meliputi pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan,
pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana, serta pencegahan penyakit
dan pengobatan. Untuk meningkatkan produksi susu selama laktasi, seleksi
sapi-sapi yang memiliki puncak produksi tertinggi sangat penting, dan perlu
juga memperhatikan persistensi produksi (Mukhtar, 2006).
Posting Komentar untuk "Tinjauan Pustaka Mengenai Susu"